“Nyawang Garut ka Hareup Bari Ngeunteng
Sajarah ka Tukang”
Kabupaten Garut Inspirasi Eropa
Ngawangun Kabudayaan Abad 19
GARUT ternyata menjadi daerah
penting bagi penelitian pengetahuan alam. Wilayah di Timur Jabar itu juga
sumber inspirasi bangsa Eropa dalam membangun kebudayaan baru pada abad ke-19.
Sejarah itu terbuka dalam
sebuah dialog kebudayaan. Bertajuk ‘Nyawang Garut ka Hareup Bari Ngeunteng
Sajarah ka Tukang’ para budayawan menbedahnya di Aula Local Education Center
(LEC) Jalan Guntursari Garut, Sabtu (19/1) malam.
Seperti temanya, Nyawang
Garut ka Hareup Bari Ngeunteng Sajarah ka Tukang (Merajut Garut ke
Depan, Mendedah Sejarah), Hawe Setiawan lantas menceritakan pandangan orang Eropa
terhadap Kabupaten Garut.
Sastrawan dan dosen Universitas
Pasundan itu mengatakan Garut sangat penting menjadi bahan penelitian
pengetahuan alam pada abad ke-19. Ini dibuktikan dengan kunjungan dan
penelitian dua botanis Belanda asal Jerman, Reinward dan Frans Wilhem Junghun.
Menurut Hawe, Reinward
merupakan pimpinan rombongan ahli pengetahuan alam yang ditugaskan pemerintah
kolonial Belanda melakukan survei seputar alam Hindia Belanda. Rombongan
didampingi ahli gambar. Pada 1819, Reinward mencatat peristiwa kebakaran besar
di Gunung Guntur. Dia bahkan sempat naik ke puncak gunung api tersebut.
(Reinward pula membangun musium tropis terlengkap di dunia di Kebun Raya Bogor
pada 187).
Tak hanya Reinward, hal sama
dilakukan Junghun. Dia menaiki Gunung Guntur dan Cikurai pada 1843. Bahkan,
Junghun sempat menuliskan letusan dahsyat Gunung Guntur pada 4 Januari 1843.
Hal itu tertuang dalam
'masterpiece', karya utamanya berjudul 'Pulau Jawa-Bentuknya, Permukaannya, dan
Susunan' dalam 3 jilid buku (1852-1854), dilengkapi peta pertama pulau Jawa
secara terperinci. "Garut juga menjadi tempat ‘ngababakan’ (merintis)
kebudayaan baru, bagaimana manusia mengolah alam lingkungan dalam upaya
membangun cara hidup baru yang bermanfaat untuk semua," kata Hawe
Setiawan.
Hal itu, lanjutnya, terjadi
ketika pada 1860, kolonial Belanda membuat kebijakan liberalisasi agraria.
Kalangan swasta terbuka membuka usaha di Garut. Saat itulah masuk Karl
Frederick (KF) Holle dengan membuka hutan Waspada di kaki Gunung Cikurai
menjadi kebun teh.
KF Holle juga ternyata bukan
saja mempunyai perhatian terhadap pertanian melainkan juga persoalan
kebudayaan. Dia bahkan mengingatkan orang Eropa: jika ingin sukses usaha di
Garut, harus menyesuaikan dengan cara hidup masyarakat Garut.
KF Holle sendiri
membuktikannya. Dia menjalin persahabatan dengan tokoh menak asal Limbangan
yang menjadi Penghulu Besar Garut, KH Rd Muhammad Musa. Dia juga mendorong Musa
serta putra-putrinya dalam kegiatan tulis-menulis. Musa pun melahirkan sejumlah
karya tulis berupa wawacan, jenis karya sastra Sunda dengan aturan khas. Salah
satu karya utamanya yakni ‘Wawacan Panji Wulung’ berbentuk sastra novel terdiri
atas 1.018 bait pupuh.
Rd Muhammad Musa adalah ayah
dari Rd Ayu Lasminingrat, istri Bupati Garut pertama RAA Adiwijaya. Nama itu
diusulkan menjadi pahlawan nasional terkait peran dan jasanya mendorong
pemberdayaan perempuan pribumi pada masa kolonialisme Belanda. "Saya
sepakat perlu tindakan kolektif mengenalkan kebudayaan Garut, bagaimana
sumbangsihnya terhadap perkembangan kehidupan di Jawa Barat dan Indonesia. Garut
merupakan kota modern zaman kolonial pada akhir abad 19," ujarnya.
Pembicara lainnya, sastrawan
muda Garut asal Karawang Darpan Aryawinangun menyebutkan 'Wawacan Panjiwulung'
karya KH Rd Muhammad Musa sudah mengalami 20 kali cetak ulang sejak 1876 hingga
awal abad 20.
Buku itu diterjemahkan ke dalam
bahasa Melayu, dan Jawa serta menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah pribumi
pada zamannya. Kendati penyusunan ‘Wawacan Panji Wulung’ tak lebih merupakan
megaproyek kolonial untuk membentuk mental pribumi, karya sastra itu masih
aktual bagi referensi kepemimpinan di Garut sekarang.
"Pesan disampaikannya
mengenai bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Menjadi pemimpin itu harus
dipersiapkan, mental, pengetahuan, dan fisiknya. Tidak ujug-ujug
(mendadak)," ingatnya.
‘Wawacan Panji Wulung’
mengisahkan perjalanan suka duka Panjiwulung sejak dalam kandungan hingga
dewasa. Sejak dibuang dari tanah kelahiran, diangkat menjadi raja di negeri
asing, dan kembali ke tanah kelahirannya. Dalam wawacan tersebut juga terselip
pesan bahwa menaklukkan lawan tidak harus dengan cara kekerasan melainkan bisa
dengan cara memaafkan.
"Ada satu nasihat diterima
Panji Wulung, yakni kalau mau jadi pemimpin yang baik maka dilarang melakukan
madat (narkoba), madon (perempuan), maehan (membunuh), maling (korupsi), mangan
(foya-foya), dan minum (mabuk-mabukan),” kata Darpan.
Jadi, lanjut dia, jika Garut
terpuruk, bisa jadi hal itu karena ada yang dilanggar pemimpin Garut saat ini.
Senada dikemukakan sastrawan budayawan Sunda, Usep Romli HM. Menurutnya
‘Wawacan Panji Wulung’ memuat unsur kepemimpinan dengan proses matang. Bukan
pemimpin sekadar muncul karena money politic atau penuh janji.
Dia mengaku sangat kecewa
dengan termasyhurnya Garut belakangan, bukan karena prestasi melainkan karena berbagai
citra buruk. Salah satunya kasus kawin siri Bupati Garut Aceng HM Fikri yang
mengguncang dunia.
"Apa Garut terkenal karena
kasus kawin sirinya? Sejak dulu, Garut memiliki genetika unggul di berbagai
bidang. Namun karena tak ada perhatian dari pemerintah dan wakil rakyat, hal
itu cepat menghilang tak berbekas sehingga tak dapat diwariskan kepada generasi
berikutnya," kata Usep.
Usep pun menyebutkan sejumlah
nama berpengaruh dan malang melintang di tingkat nasional maupun internasional
dalam berbagai bidang. Sebut saja sastrawan sekelas dan rekan Chairil Anwar,
Dodong Wirapraja, Achdiat Karta Mihardja terkenal dengan novel Atheis-nya,
seniman budayawan Nano S (Suratno), dan mantan Menteri Pertanian era 1998-1999
Soleh Solehudin.
Pun banyak orang Garut menjadi
artis/aktris terkemuka, seperti Dicky Zulkarnaen, Arman Effendi, dan Aom
Kusman. "Banyaklah. Teten Masduki juga. Bahkan guru politik Perdana
Menteri RI pertama, Sutan Syahrir itu orang Garut, yaitu Wiraseungkeu, Ketua
Partai Sosialis," ujar Usep. ***
(Inilah.Com, Senin, 21 Januari 2013)