Kamis, 31 Januari 2013

Garut Swis van Java

“Nyawang Garut ka Hareup Bari Ngeunteng Sajarah ka Tukang”
Kabupaten Garut Inspirasi Eropa
Ngawangun Kabudayaan Abad 19

GARUT ternyata menjadi daerah penting bagi penelitian pengetahuan alam. Wilayah di Timur Jabar itu juga sumber inspirasi bangsa Eropa dalam membangun kebudayaan baru pada abad ke-19.
Sejarah itu terbuka dalam sebuah dialog kebudayaan. Bertajuk ‘Nyawang Garut ka Hareup Bari Ngeunteng Sajarah ka Tukang’ para budayawan menbedahnya di Aula Local Education Center (LEC) Jalan Guntursari Garut, Sabtu (19/1) malam.
Seperti temanya, Nyawang Garut ka Hareup Bari Ngeunteng Sajarah ka Tukang (Merajut Garut ke Depan, Mendedah Sejarah), Hawe Setiawan lantas menceritakan pandangan orang Eropa terhadap Kabupaten Garut.
Sastrawan dan dosen Universitas Pasundan itu mengatakan Garut sangat penting menjadi bahan penelitian pengetahuan alam pada abad ke-19. Ini dibuktikan dengan kunjungan dan penelitian dua botanis Belanda asal Jerman, Reinward dan Frans Wilhem Junghun.
Menurut Hawe, Reinward merupakan pimpinan rombongan ahli pengetahuan alam yang ditugaskan pemerintah kolonial Belanda melakukan survei seputar alam Hindia Belanda. Rombongan didampingi ahli gambar. Pada 1819, Reinward mencatat peristiwa kebakaran besar di Gunung Guntur. Dia bahkan sempat naik ke puncak gunung api tersebut. (Reinward pula membangun musium tropis terlengkap di dunia di Kebun Raya Bogor pada 187).
Tak hanya Reinward, hal sama dilakukan Junghun. Dia menaiki Gunung Guntur dan Cikurai pada 1843. Bahkan, Junghun sempat menuliskan letusan dahsyat Gunung Guntur pada 4 Januari 1843.
Hal itu tertuang dalam 'masterpiece', karya utamanya berjudul 'Pulau Jawa-Bentuknya, Permukaannya, dan Susunan' dalam 3 jilid buku (1852-1854), dilengkapi peta pertama pulau Jawa secara terperinci. "Garut juga menjadi tempat ‘ngababakan’ (merintis) kebudayaan baru, bagaimana manusia mengolah alam lingkungan dalam upaya membangun cara hidup baru yang bermanfaat untuk semua," kata Hawe Setiawan.
Hal itu, lanjutnya, terjadi ketika pada 1860, kolonial Belanda membuat kebijakan liberalisasi agraria. Kalangan swasta terbuka membuka usaha di Garut. Saat itulah masuk Karl Frederick (KF) Holle dengan membuka hutan Waspada di kaki Gunung Cikurai menjadi kebun teh.
KF Holle juga ternyata bukan saja mempunyai perhatian terhadap pertanian melainkan juga persoalan kebudayaan. Dia bahkan mengingatkan orang Eropa: jika ingin sukses usaha di Garut, harus menyesuaikan dengan cara hidup masyarakat Garut.
KF Holle sendiri membuktikannya. Dia menjalin persahabatan dengan tokoh menak asal Limbangan yang menjadi Penghulu Besar Garut, KH Rd Muhammad Musa. Dia juga mendorong Musa serta putra-putrinya dalam kegiatan tulis-menulis. Musa pun melahirkan sejumlah karya tulis berupa wawacan, jenis karya sastra Sunda dengan aturan khas. Salah satu karya utamanya yakni ‘Wawacan Panji Wulung’ berbentuk sastra novel terdiri atas 1.018 bait pupuh.
Rd Muhammad Musa adalah ayah dari Rd Ayu Lasminingrat, istri Bupati Garut pertama RAA Adiwijaya. Nama itu diusulkan menjadi pahlawan nasional terkait peran dan jasanya mendorong pemberdayaan perempuan pribumi pada masa kolonialisme Belanda. "Saya sepakat perlu tindakan kolektif mengenalkan kebudayaan Garut, bagaimana sumbangsihnya terhadap perkembangan kehidupan di Jawa Barat dan Indonesia. Garut merupakan kota modern zaman kolonial pada akhir abad 19," ujarnya.
Pembicara lainnya, sastrawan muda Garut asal Karawang Darpan Aryawinangun menyebutkan 'Wawacan Panjiwulung' karya KH Rd Muhammad Musa sudah mengalami 20 kali cetak ulang sejak 1876 hingga awal abad 20.
Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, dan Jawa serta menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah pribumi pada zamannya. Kendati penyusunan ‘Wawacan Panji Wulung’ tak lebih merupakan megaproyek kolonial untuk membentuk mental pribumi, karya sastra itu masih aktual bagi referensi kepemimpinan di Garut sekarang.
"Pesan disampaikannya mengenai bagaimana menjadi pemimpin yang baik. Menjadi pemimpin itu harus dipersiapkan, mental, pengetahuan, dan fisiknya. Tidak ujug-ujug (mendadak)," ingatnya.
‘Wawacan Panji Wulung’ mengisahkan perjalanan suka duka Panjiwulung sejak dalam kandungan hingga dewasa. Sejak dibuang dari tanah kelahiran, diangkat menjadi raja di negeri asing, dan kembali ke tanah kelahirannya. Dalam wawacan tersebut juga terselip pesan bahwa menaklukkan lawan tidak harus dengan cara kekerasan melainkan bisa dengan cara memaafkan.
"Ada satu nasihat diterima Panji Wulung, yakni kalau mau jadi pemimpin yang baik maka dilarang melakukan madat (narkoba), madon (perempuan), maehan (membunuh), maling (korupsi), mangan (foya-foya), dan minum (mabuk-mabukan),” kata Darpan.
Jadi, lanjut dia, jika Garut terpuruk, bisa jadi hal itu karena ada yang dilanggar pemimpin Garut saat ini. Senada dikemukakan sastrawan budayawan Sunda, Usep Romli HM. Menurutnya ‘Wawacan Panji Wulung’ memuat unsur kepemimpinan dengan proses matang. Bukan pemimpin sekadar muncul karena money politic atau penuh janji.
Dia mengaku sangat kecewa dengan termasyhurnya Garut belakangan, bukan karena prestasi melainkan karena berbagai citra buruk. Salah satunya kasus kawin siri Bupati Garut Aceng HM Fikri yang mengguncang dunia.
"Apa Garut terkenal karena kasus kawin sirinya? Sejak dulu, Garut memiliki genetika unggul di berbagai bidang. Namun karena tak ada perhatian dari pemerintah dan wakil rakyat, hal itu cepat menghilang tak berbekas sehingga tak dapat diwariskan kepada generasi berikutnya," kata Usep.
Usep pun menyebutkan sejumlah nama berpengaruh dan malang melintang di tingkat nasional maupun internasional dalam berbagai bidang. Sebut saja sastrawan sekelas dan rekan Chairil Anwar, Dodong Wirapraja, Achdiat Karta Mihardja terkenal dengan novel Atheis-nya, seniman budayawan Nano S (Suratno), dan mantan Menteri Pertanian era 1998-1999 Soleh Solehudin.
Pun banyak orang Garut menjadi artis/aktris terkemuka, seperti Dicky Zulkarnaen, Arman Effendi, dan Aom Kusman. "Banyaklah. Teten Masduki juga. Bahkan guru politik Perdana Menteri RI pertama, Sutan Syahrir itu orang Garut, yaitu Wiraseungkeu, Ketua Partai Sosialis," ujar Usep. ***

(Inilah.Com, Senin, 21 Januari 2013)